Alergi telur adalah reaksi sistem kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap telur atau makanan yang mengandung telur. Kondisi ini merupakan jenis alergi makanan kedua terbanyak pada anak-anak setelah alergi susu.
Alergi telur terjadi ketika imunitas tubuh menganggap protein dalam telur sebagai zat berbahaya. Akibatnya, tubuh melepaskan histamin sebagai upaya perlindungan sehingga menimbulkan reaksi alergi.
Reaksi alergi ini dapat terjadi dalam hitungan menit atau jam setelah mengonsumsi telur. Gejala alergi telur bisa bersifat ringan berupa ruam kulit atau hidung tersumbat, hingga berat, seperti muntah dan sesak napas. Pada beberapa kasus, alergi telur juga bisa menyebabkan reaksi alergi yang lebih berat, yaitu reaksi anafilaksis.
Penyebab Alergi Telur
Alergi telur terjadi ketika sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap telur atau makanan yang mengandung telur, antara lain:
- Roti dan kue
- Biskuit
- Krim kue
- Es krim dan puding
- Mayones
- Mi dan pasta
Selain makanan-makanan tersebut, ada beberapa zat pengental makanan kemasan yang mengandung telur, seperti:
- Globulin
- Lecithin
- Livetin
- Silici albuminate
- Ovalbumin
- Ovomucin
- Ovomucoid
- Ovotransferrin
- Simplesse
- Vitellin
Zat-zat yang terkandung di dalam telur juga bisa terdapat dalam bahan-bahan selain makanan, seperti:
- Sampo
- Kosmetik
- Cat kuku
- Beberapa jenis obat, seperti albumin
Alergen atau zat pemicu alergi pada telur berasal dari putih telur. Namun, karena kuning telur dan putih telur berada dalam satu kesatuan, mengonsumsi bagian kuning telur juga dapat memicu reaksi alergi.
Alergi telur lebih umum terjadi pada anak-anak, terutama yang berusia 6 bulan sampai lebih dari 1 tahun. Bayi yang masih menyusu juga bisa terkena alergi akibat telur yang dikonsumsi oleh ibunya. Reaksi alergi ini biasanya berkurang seiring usia anak bertambah. Namun, alergi telur terkadang juga bisa menetap hingga usia dewasa.
Alergi telur juga lebih berisiko dialami oleh penderita eksim atopik dan orang yang keluarganya memiliki alergi makanan atau penyakit asma.
Gejala Alergi Telur
Reaksi alergi telur biasanya muncul beberapa menit atau jam setelah mengonsumsi makanan yang mengandung telur. Gejala yang muncul dapat berupa keluhan ringan, antara lain:
- Biduran
- Bengkak di bibir atau kelopak mata
- Mata merah, terasa gatal, atau berair
- Telinga atau tenggorokan terasa gatal
- Hidung tersumbat, meler, atau bersin-bersin
- Batuk, sesak napas, atau mengi
- Gangguan pencernaan, seperti kram perut, mual, muntah, atau diare
Kapan harus ke dokter
Lakukan pemeriksaan ke dokter jika anak Anda mengalami gejala di atas setelah mengonsumsi atau menggunakan produk yang mengandung telur. Penanganan oleh dokter di IGD perlu segera dilakukan jika muncul reaksi anafilaksis, seperti:
- Denyut nadi cepat
- Sesak napas
- Nyeri perut parah
- Muntah-muntah parah
- Kulit pucat dan berkeringat dingin
- Syok, yang ditandai dengan tekanan darah turun drastis, pusing, keringat dingin, napas terengah-engah, linglung, atau hilang kesadaran
Diagnosis Alergi Telur
Untuk mendiagnosis alergi telur, dokter akan bertanya seputar gejala, riwayat kesehatan, dan daftar makanan yang dikonsumsi beberapa hari terakhir, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik menyeluruh.
Guna memastikan diagnosis, dokter perlu melakukan tes alergi, antara lain:
-
Tes darah
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kadar antibodi tertentu dalam darah yang terkait dengan reaksi alergi telur.
-
Tes kulit
Tes kulit (skin prick test) dilakukan dengan menusukkan jarum ke kulit dan memasukkan sampel telur ke dalam area tersebut. Jika pasien mengalami alergi, akan timbul bentol di lokasi tusukan.
-
Tes eliminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan meminta pasien menghilangkan menu telur dari makanan dan mencatat semua makanan yang dikonsumsi setiap hari. Setelah itu, dokter akan melihat apakah gejala yang dialami pasien dapat mereda.
-
Tes tantangan makanan (food challenge test)
Dalam tes ini, pasien akan diminta makan sedikit telur untuk melihat apakah muncul reaksi. Jika tidak terjadi apa-apa, porsi telur yang lebih besar akan diberikan untuk melihat munculnya tanda-tanda alergi. Namun, tes ini bisa menyebabkan alergi parah sehingga hanya boleh dilakukan oleh dokter.
Pengobatan Alergi Telur
Pada pasien alergi telur ringan, dokter akan meresepkan obat pereda alergi jenis antihistamin, seperti chlorpheniramine atau loratadine. Sementara untuk kasus yang parah, misalnya anafilaksis, dokter akan memberikan suntikan epinepherine dan kortikosteroid.
Di samping penggunaan obat-obatan, pasien perlu menghindari konsumsi dan paparan telur. Caranya adalah dengan membaca keterangan tentang kandungan dalam makanan atau produk tersebut.
Anak-anak yang menderita alergi telur umumnya bisa sembuh setelah dewasa. Hal ini karena sistem kekebalan tubuh makin terbentuk sempurna seiring usia bertambah. Namun, jika reaksi alergi telur terus berlangsung sampai dewasa, disarankan untuk menjalani diet eliminasi telur.
Diet eliminasi telur dilakukan dengan menghilangkan telur dari konsumsi makanan sehari-hari. Hasil diet ini umumnya akan terlihat setelah 1–2 tahun. Untuk memenuhi kebutuhan protein harian, pasien dapat makanan tinggi protein selain telur, seperti daging sapi, ayam, tahu, tempe, atau ikan.
Komplikasi Alergi Telur
Komplikasi alergi telur berupa reaksi anafilaksis jarang terjadi. Jika timbul, reaksi anafilaksis bisa dimulai dari gejala ringan, seperti gatal-gatal atau pilek, kemudian berkembang menjadi lebih serius.
Selain alergi telur, penderita juga berisiko mengalami kondisi alergi lain, seperti:
- Alergi minuman atau makanan, seperti susu dan olahannya, kedelai, atau kacang
- Alergi bulu hewan peliharaan, debu, tungau, atau serbuk sari
- Dermatitis atopik
- Asma
Pencegahan Alergi Telur
Untuk mencegah reaksi alergi telur, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, yaitu:
- Membaca label keterangan pada kemasan makanan atau produk apa pun dengan teliti
- Berhati-hati ketika memesan makanan dari restoran
- Menghindari konsumsi telur bagi ibu menyusui yang bayinya menderita alergi telur
- Menggunakan gelang khusus alergi, khususnya pada anak-anak, agar pengasuhnya dapat mengetahui kondisi tersebut
- Memberikan ASI eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan, kemudian diteruskan sampai usia 2 tahun, untuk mengurangi risiko alergi makanan pada anak