Altitude sickness atau penyakit ketinggian adalah kumpulan gejala yang muncul ketika seseorang mendaki terlalu cepat menuju ketinggian tertentu. Beberapa gejalanya adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala.
Pada ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), tekanan udara mulai menurun dan oksigen makin menipis. Kondisi ini menyebabkan seseorang yang berada pada ketinggian tersebut harus memberikan waktu bagi tubuhnya untuk beradaptasi.
Altitude sickness atau mountain sickness terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.
Jenis Altitude Sickness
Berdasarkan jenisnya, altitude sickness terbagi menjadi tiga yaitu:
- Acute mountain sickness (AMS), yaitu bentuk altitude sickness yang paling ringan dan paling sering terjadi.
- High-altitude cerebral edema (HACE), yaitu penumpukan cairan di otak yang menyebabkan otak membengkak dan tidak berfungsi normal.
- High-altitude pulmonary edema (HAPE), yaitu penumpukan cairan di paru-paru yang menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut. Edema paru ini bisa berkembang dari HACE atau terjadi dengan sendirinya.
Penyebab Altitude Sickness
Altitude sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Pada ketinggian tersebut, tekanan udara makin menurun dan kadar oksigen makin berkurang. Bagi orang yang tidak terbiasa berada di ketinggian, tubuhnya perlu waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Gejala altitude sickness muncul ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami altitude sickness adalah:
- Tinggal di dataran rendah
- Pernah mengalami altitude sickness sebelumnya
- Mendaki terlalu cepat (lebih dari 300 meter per hari)
- Jalur pendakian yang sulit dan membutuhkan banyak energi
- Gangguan di jantung, paru-paru, atau sistem saraf
Gejala Altitude Sickness
Gejala altitude sickness biasanya muncul ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Gejalanya bisa muncul bertahap atau tiba-tiba dengan tingkat keparahan ringan hingga berat, tergantung pada kecepatan seseorang saat mendaki dan ketinggian yang dicapai.
Beberapa gejala yang umum terjadi akibat altitude sickness adalah:
- Sulit tidur
- Kelelahan
- Mual dan muntah
- Sakit kepala
- Jantung berdebar
- Sesak napas
Pada kasus yang parah, altitude sickness bisa menyebabkan sejumlah gejala berikut:
- Kulit membiru (sianosis)
- Dada terasa seperti ditekan
- Batuk berdarah
- Sulit untuk berjalan
- Linglung dan mudah marah
- Penurunan kesadaran
Kapan harus ke dokter
Segera periksakan diri ke dokter bila Anda atau orang terdekat Anda mengalami gejala yang telah disebutkan di atas. Pemeriksaan juga perlu dilakukan bila terdapat sejumlah gejala berikut:
- Sesak napas
- Sakit kepala parah
- Linglung
- Rasa mengantuk yang sangat berat
- Halusinasi
- Perubahan perilaku
- Batuk berdarah
- Kesulitan berjalan
- Penurunan kesadaran
Segera cari pertolongan medis bila Anda atau orang terdekat Anda masih mengalami gejala altitude sickness ketika sudah berada di dataran rendah bahkan bila gejala tersebut ringan atau sudah mereda.
Diagnosis Altitute Sickness
Orang yang mengalami gejala dan keluhan altitude sickness perlu dipindahkan ke tempat yang lebih rendah dahulu. Dengan begitu, keluhan dan gejala yang dialaminya dapat berkurang.
Altitude sickness dapat didiagnosis oleh dokter dengan menanyakan gejala yang dialami pasien dan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa suara napas menggunakan stetoskop. Pada penderita altitude sickness, terdapat penumpukan cairan di dalam paru-paru sehingga akan muncul suara napas yang tidak normal.
Dokter juga akan memeriksa saturasi oksigen pasien menggunakan pulse oximeter dan tes analisis gas darah.
Jika gejala yang dialami pasien tergolong parah, dokter akan melakukan pemindaian dengan CT scan dan MRI untuk melihat kemungkinan adanya penumpukan cairan di otak pasien.
Pertolongan Pertama pada Altitude Sickness
Segera turun atau bawa penderita ke tempat yang lebih rendah. Penting untuk diingat, jangan mencoba mendaki lebih tinggi lagi meskipun gejala yang dialami tergolong ringan.
Sambil membawa penderita turun ke tempat yang lebih rendah, ada sejumlah langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meredakan gejala altitude sickness, yaitu:
- Longgarkan pakaian penderita dan beri ruang yang cukup agar penderita bisa bernapas dengan normal.
- Pastikan penderita minum banyak air putih untuk mencegah dehidrasi.
- Jangan memberikan minuman beralkohol atau obat tidur kepada penderita.
Jika penderita sedang berada di gunung dan kondisinya tidak memungkinkan untuk turun, hubungi petugas evakuasi untuk membawanya turun.
Sambil menunggu pertolongan datang, jaga suhu tubuh penderita agar tetap hangat, batasi aktivitas fisiknya, dan biarkan ia beristirahat.
Pengobatan Altitude Sickness
Gejala altitude sickness biasanya akan mereda setelah turun di ketinggian 300–600 meter lebih rendah daripada ketinggian sebelumnya. Pada sebagian besar kasus, gejala akan hilang sepenuhnya dalam 3 hari.
Pada altitude sickness parah atau jika terjadi HACE atau HAPE, terutama pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, penderita harus turun ke ketinggian di bawah 1.200 mdpl dan mendapat pertolongan medis.
Salah satu penanganan yang akan dilakukan oleh dokter untuk mengatasi altitude sickness adalah memberikan obat-obatan, seperti:
- Acetolazamide, untuk meredakan gejala sesak napas
- Dexamethasone, untuk mengurangi pembengkakan di otak
- Nifedipine, untuk meredakan nyeri dada dan sesak napas
- Penghambat fosfodiesterase, untuk meningkatkan aliran darah ke paru-paru
Selain obat-obatan di atas, dokter juga akan memberikan alat bantu napas dan terapi oksigen untuk meredakan gejala altitude sickness.
Komplikasi Altitude Sickness
Altitude sickness merupakan kondisi yang sangat berbahaya. Jika tidak segera ditangani, penderita dapat mengalami komplikasi yang serius berupa:
- Penumpukan cairan di paru-paru (edema paru)
- Pembengkakan otak
- Koma
- Kematian
Pencegahan Altitude Sickness
Jika Anda berencana mendaki gunung atau pergi ke dataran tinggi, sebaiknya ketahui informasi ketinggian daerah yang akan dikunjungi. Cari tahu juga apa saja gejala altitude sickness yang bisa terjadi dan bagaimana pertolongan pertamanya.
Bila Anda menyadari gejala lebih awal dan tidak hilang setelah 24 jam, segera turun dari ketinggian agar keluhan yang dialami tidak bertambah parah.
Cara terbaik untuk mencegah altitude sickness adalah dengan aklimatisasi, yaitu memberikan waktu bagi tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi di ketinggian. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
- Melakukan pendakian secara bertahap, tidak lebih dari 300 meter per hari
- Beristirahat 1–2 hari tiap mendaki jarak 600 meter
- Beristirahat secara berkala jika mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2.400 mdpl
- Berlatih sebelum melakukan pendakian gunung dan pastikan mampu serta sudah berlatih untuk menuruni gunung dengan cepat
- Mengonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi dan banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi
- Tidak merokok, mengonsumsi minuman beralkohol atau berkafein, atau menggunakan obat tidur saat mendaki gunung
- Menjalani pemeriksaan kesehatan ke dokter sebelum mendaki gunung, terutama jika belum memiliki pengalaman mendaki sebelumnya