Anak yang posesif terhadap mainan akan merasa kesal, marah, atau bahkan menangis saat mainannya dipinjam orang lain, seolah-olah tidak boleh ada satu orang pun yang memegang barang miliknya, termasuk orang tuanya. Lantas, bagaimana cara mengatasinya?
Fase posesif anak terjadi pada usia 18 bulan hingga 4 tahun. Pada usia tersebut, anak memiliki pemahaman bahwa benda yang ia punya hanyalah miliknya seorang. Itulah mengapa tidak sedikit anak yang sangat posesif terhadap mainannya dan tidak ingin berbagi dengan orang lain, meski dengan saudara kandungnya.
Tips Mengatasi Anak Posesif terhadap Mainannya
Sebenarnya, fase posesif pada anak adalah hal yang normal terjadi, kok. Selain posesif terhadap mainannya, anak-anak juga bisa posesif terhadap orang tuanya atau orang terdekat yang ia sayangi.
Namun, hal ini jangan dianggap sepele dan Bunda tidak boleh mendiamkan perilaku Si Kecil. Jika sifat posesif ini tidak dikendalikan dengan baik, Si Kecil bisa berkembang menjadi pribadi yang egois dan tidak mau berbagi, lho. Jangan sampai ini membuatnya jadi sulit berteman nantinya.
Nah, untuk mengatasi Si Kecil posesif terhadap mainannya, berikut ini adalah langkah yang bisa Bunda lakukan:
1. Jangan memaksa anak
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah jangan memaksa anak. Semakin kita memaksanya untuk berbagi mainan, ia akan semakin tidak mendengarkan apa yang orang tuanya katakan.
Mungkin saja Si Kecil akan melakukan apa yang Bunda suruh, tetapi dengan terpaksa dan tanpa memahami makna di balik nasihat Bunda. Ini malah tidak melatihnya untuk berbagi, Bun. Bisa-bisa, Si Kecil menjadi kesal setiap harus berbagi.
2. Tanamkan rasa empati pada anak
Memaksa anak hanya akan membuat suasana hatinya memburuk. Jika Si Kecil enggan barang kesayangannya disentuh orang lain, sebaiknya mulai ajarkan rasa empati agar ia bisa memahami perasaan orang lain. Gunakan kalimat sesederhana mungkin agar ia terbujuk untuk berbagi barang tersebut.
Misalnya, “Dek, berbagi itu perbuatan baik, lho. Kalau Adek tidak mau berbagi dengan orang lain, nanti orang lain juga enggak mau berbagi dengan Adek. Coba deh bayangkan, kira-kira Adek suka enggak diperlakukan seperti itu?”.
Bunda juga bisa mencontohkan perbuatan baik yang pernah orang lain lakukan pada anak. Contohnya, “Dek, dulu Si A pernah meminjamkan mainannya dan Adek senang, kan? Nah, kalau sekarang Adek pinjamkan mainan ini ke Si A, ia juga bisa merasakan kesenangan yang sama seperti yang Adek rasakan dulu, lho.”.
Jika rasa empati ini terus ditanamkan kepada buah hati, lambat laun hatinya akan tergerak untuk berbagi dan mulai meminjamkan barang-barang kesayangannya dengan senang hati.
3. Sering mengajak anak bermain bersama
Bermain bersama teman dapat melatih jiwa berbagi anak secara alami dan juga bermanfaat untuk tumbuh kembang serta kecerdasannya. Oleh karena itu, Bunda, Ayah, dan anggota keluarga lainnya harus bisa meluangkan waktu untuk mengajak Si Kecil bermain bersama.
Momen bermain bersama juga bisa menjadi media pembelajaran agar ia mau berbagi atau meminjamkan barang kesayangannya.
Ingat, berbagi itu tidak dengan teman saja, anak pun harus belajar melakukannya dengan keluarga terdekatnya. Setelah ia paham arti berbagi dengan keluarga, sikap berbagi dengan teman pun akan berkembang dengan sendirinya.
4. Ajarkan anak untuk bernegosiasi
Mengajari anak tentang makna negosiasi juga bisa membantunya tidak posesif lagi dengan mainannya. Jika Si Kecil mulai terlihat pelit dan tidak mau meminjamkan mainannya kepada orang lain, alih-alih berteriak dan memarahinya, ada baiknya Bunda bernegosiasi dengannya.
Kunci negosiasi adalah mencari win-win solution. Carikan solusi yang bisa membuat Si Kecil mau berbagi tanpa merasa sebal dan malah merasa diuntungkan setelahnya. Misalnya, jika ia mau berbagi mainan, Bunda akan memanjangkan waktu bermainnya selama 10 menit.
Mengatasi anak posesif terhadap mainannya memang tidak mudah dan dibutuhkan kesabaran yang ekstra agar anak mengerti apa yang orang tuanya ajarkan.
Bila setelah menerapkan tips-tips di atas Si Kecil tetap tidak mau berbagi dan masih posesif terhadap mainannya, jangan ragu berkonsultasi ke psikolog khusus anak, ya.