Atresia bilier adalah kondisi saluran empedu bayi yang tidak terbentuk dengan normal atau tersumbat akibat kelainan genetik. Penyakit bawaan lahir ini dapat terjadi sejak bayi di dalam kandungan. Namun, gejala atresia bilier lebih sering muncul dalam waktu 2–4 minggu setelah bayi dilahirkan.
Cairan empedu diproduksi oleh hati dan disimpan di kantong empedu. Normalnya, cairan ini mengalir ke saluran pencernaan untuk membantu proses penyerapan lemak dan vitamin.
Pada bayi dengan atresia bilier, cairan empedu tidak dapat mengalir ke usus karena salurannya tersumbat. Akibatnya, cairan ini akan menumpuk di dalam hati. Jika kondisi ini terjadi dalam jangka panjang, bayi berisiko mengalami gagal hati (sirosis).
Penyebab Atresia Bilier
Pada banyak kasus, atresia bilier tidak diketahui penyebabnya secara pasti. Meski demikian, atresia bilier bawaan lahir diduga terjadi karena saluran empedu gagal terbentuk pada masa perkembangan janin.
Selain itu, janin juga bisa berisiko mengalami atresia bilier ketika terkena penyakit atau kondisi tertentu di dalam kandungan, seperti:
- Infeksi cytomegalovirus (CMV)
- Penyakit autoimun
- Paparan zat kimia berbahaya
- Terpapar obat carbamazepine dari ibu ke janin
Gejala Atresia Bilier
Gejala utama atresia bilier adalah kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning) dan tidak membaik dalam waktu 24 jam. Keluhan ini bahkan dapat berlangsung lebih dari 2 minggu.
Berat badan bayi dengan atresia bilier mungkin akan bertambah pada 1 bulan setelah dilahirkan. Pada bulan berikutnya, bayi dapat menunjukkan tanda-tanda seperti berat badan menurun, lebih rewel, dan penyakit kuning yang dialaminya memburuk.
Selain itu, beberapa gejala yang juga dapat dialami bayi adalah:
- Urine berwarna gelap
- Perut membengkak akibat penumpukan cairan di rongga perut, atau pembesaran hati dan limpa
- Tinja berwarna pucat
Kapan harus ke dokter
Jika bayi Anda mengalami gejala yang disebutkan di atas, segera bawa ia ke dokter IGD untuk ditangani, terutama jika terdapat tanda dan gejala berikut:
- Tubuhnya makin menguning
- Tidak mau menyusu
- Lemas dan sulit dibangunkan
- Tangisannya makin keras
- Kesadarannya menurun
Diagnosis Atresia Bilier
Dokter akan melakukan tanya jawab dengan orang tua seputar gejala yang dialami oleh bayi. Dokter juga akan menanyakan obat-obatan yang mungkin dikonsumsi ibu selama hamil dan menyusui. Setelah itu, dokter akan meraba perut bayi guna mendeteksi pembesaran hati (hepatomegali) atau limpa (splenomegali).
Untuk memastikan diagnosis, dokter akan menjalankan pemeriksaan penunjang, seperti:
- Tes darah, untuk mengukur kadar bilirubin dan mendeteksi tanda-tanda kerusakan hati
- USG perut, untuk mendeteksi kelainan atau perubahan empedu, hati, dan limpa
- Hepatobiliary iminodiacetic acid (HIDA) scan, untuk mengetahui area saluran empedu yang tersumbat
- Biopsi hati pada bayi usia di atas 2 minggu, untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit kuning disebabkan oleh kondisi lain, seperti hepatitis
- Laparoskopi, untuk memeriksa kondisi hati dan saluran empedu dengan selang berkamera jika pemeriksaan sebelumnya belum cukup untuk menentukan diagnosis
Pengobatan Atresia Bilier
Pengobatan atresia bilier tergantung pada area saluran empedu yang tersumbat. Jika saluran empedu yang terganggu berada di luar hati, dokter akan menjalankan operasi Kasai. Pada tindakan ini, dokter akan mengganti saluran yang tersumbat dengan sebagian usus halus.
Bila saluran empedu yang tersumbat berada di dalam hati, dokter akan meresepkan vitamin dan suplemen. Hal ini untuk membantu mengeluarkan cairan empedu yang menumpuk di hati
Jika metode di atas tidak efektif untuk mengatasi atresia bilier, dokter dapat melakukan transplantasi hati. Prosedur ini dilakukan dengan mengganti hati pasien dengan hati sehat dari pendonor. Transplantasi hati dilakukan bila pasien sudah berusia 1−2 tahun.
Komplikasi Atresia Bilier
Atresia bilier dapat menyebabkan beberapa komplikasi berikut:
- Gangguan tumbuh kembang
- Malnutrisi
- Mudah terinfeksi
- Sirosis
- Gagal hati
Pencegahan Atresia Bilier
Atresia bilier sulit untuk dicegah terutama jika terjadi di dalam kandungan. Meski begitu, ibu hamil bisa mengurangi risiko bayinya terkena penyakit ini dengan melakukan upaya berikut:
- Menjalani pemeriksaan TORCH sebelum merencanakan kehamilan
- Berkonsultasi dengan dokter sebelum mengonsumsi obat-obatan
- Mencegah infeksi dengan rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
- Melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai jadwal yang dianjurkan dokter
- Menjalani pola hidup sehat, misalnya tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan tidak merokok
- Menghindari paparan zat kimia berbahaya
- Mencukupi kebutuhan nutrisi selama kehamilan melalui makanan dan rutin mengonsumsi vitamin prenatal