Defisiensi vitamin E adalah kondisi ketika tubuh kekurangan vitamin E. Meski jarang terjadi, defisiensi vitamin E bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan koordinasi gerak tubuh hingga kebutaan.
Vitamin E merupakan nutrisi penting yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga sistem imun serta melindungi sel-sel tubuh dari paparan radikal bebas. Vitamin ini bisa didapatkan secara alami dari makanan, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, minyak sayur, sayuran hijau, dan gandum.
Defisiensi vitamin E umumnya terjadi akibat kurangnya mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin E. Namun, defisiensi vitamin E juga bisa terjadi akibat adanya kondisi lain yang menyebabkan penyerapan nutrisi terganggu (malabsorbsi makanan).
Penyebab dan Faktor Risiko Defisiensi Vitamin E
Seperti dijelaskan sebelumnya, defisiensi vitamin E biasanya terjadi akibat kurangnya asupan makanan yang mengandung vitamin E atau terganggunya penyerapan nutrisi. Ada beberapa faktor yang dapat membuat seseorang lebih berisiko mengalami defisiensi vitamin E, yaitu:
- Sedang menjalani diet rendah lemak, karena vitamin E merupakan vitamin yang membutuhkan lemak untuk bisa larut di dalam tubuh
- Memiliki kondisi yang menyebabkan malabsorbsi makanan, seperti kolestasis, radang pankreas, atau fibrosis kistik
- Bayi yang lahir prematur
Meski jarang ditemukan, defisiensi vitamin E juga dapat disebabkan oleh kelainan genetik langka yang menyebabkan tubuh penderitanya tidak dapat memanfaatkan vitamin E dari makanan. Kondisi ini umumnya dialami oleh anak-anak berusia 5–15 tahun.
Gejala Defisiensi Vitamin E
Defisiensi vitamin E jarang menimbulkan gejala pada orang dewasa, karena orang dewasa cenderung memiliki banyak cadangan vitamin E di dalam jaringan lemak. Sebaliknya, defisiensi vitamin E bisa berdampak lebih besar jika terjadi pada bayi atau anak-anak.
Gejala defisiensi vitamin E umumnya timbul secara bertahap seiring dengan memburuknya kondisi. Gejala tersebut bisa berupa:
- Kelemahan atau nyeri otot
- Kesulitan berjalan dan mengatur keseimbangan
- Kesulitan mengatur pergerakan tubuh, termasuk untuk berbicara dan menelan
- Kesulitan dalam menggerakkan bola mata, terutama ke atas
- Gangguan penglihatan, seperti penyempitan jarak pandang mata atau rabun senja
- Mudah merasa letih
- Mudah sakit
Pada bayi prematur, defisiensi vitamin E juga dapat meningkatkan risiko terjadinya anemia hemolitik, yaitu kondisi kurangnya darah yang disebabkan oleh pecahnya sel darah merah. Tak hanya itu, bayi prematur juga bisa mengalami perdarahan otak dan pertumbuhan pembuluh darah yang tidak normal pada mata (retinopathy of prematurity).
Kapan harus ke dokter
Periksakan diri ke dokter jika Anda mengalami gejala defisiensi vitamin E yang telah disebutkan di atas, terlebih jika Anda memiliki kondisi yang dapat memengaruhi penyerapan vitamin E di dalam tubuh.
Selain itu, jika Anda memiliki bayi yang lahir prematur, segera periksakan ke dokter jika ia menunjukkan gejala kelemahan gerakan.
Diagnosis Defisiensi Vitamin E
Dokter akan memulai diagnosis dengan melakukan tanya jawab mengenai keluhan dan gejala yang dialami, riwayat kesehatan pasien dan keluarga, serta gaya hidup pasien. Dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik secara keseluruhan, terutama pada fungsi saraf, otot, dan mata.
Agar diagnosis lebih akurat, dokter akan melakukan tes darah untuk mengukur kadar vitamin E di dalam darah. Tes darah juga dapat dilakukan untuk mendeteksi anemia hemolitik yang dapat terjadi akibat defisiensi vitamin E.
Orang dewasa dianggap mengalami defisiensi vitamin E jika kadar vitamin E dalam tubuhnya kurang dari 5 mcg/mL. Sementara pada anak-anak, kadar vitamin E biasanya lebih sulit untuk dideteksi.
Selain pemeriksaan di atas, dokter juga dapat melakukan pemeriksaan tambahan untuk mendeteksi kondisi lain yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kekurangan vitamin E.
Pengobatan Defisiensi Vitamin E
Umumnya, pengobatan defisiensi vitamin E adalah dengan pemberian suplemen vitamin E. Suplemen vitamin E yang diberikan bisa dalam bentuk kapsul, larutan, atau tablet multivitamin.
Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 15–25 mg/kg berat badan (BB), 1 kali sehari. Namun, pada kasus tertentu, dokter dapat memberikan dosis yang lebih tinggi.
Pada penderita gangguan empedu, suplemen vitamin E diberikan melalui infus. Hal ini karena tubuh pasien tidak mampu menyerap suplemen vitamin E yang diminum (oral).
Komplikasi Defisiensi Vitamin E
Jika tidak ditangani, defisiensi vitamin E dapat makin memburuk dan menimbulkan komplikasi berupa:
- Infeksi berulang
- Kebutaan
- Gangguan irama jantung
- Demensia
Pencegahan Defisiensi Vitamin E
Cara terbaik yang dapat dilakukan untuk mencegah defisiensi vitamin E adalah memastikan tubuh mendapatkan asupan vitamin E harian yang cukup. Berikut ini adalah kadar vitamin E yang dibutuhkan oleh tubuh berdasarkan usia:
- Bayi usia 0–6 bulan: 4 mg/hari
- Bayi usia 7–12 bulan: 5 mg/hari
- Anak-anak usia 1–3 tahun: 6 mg/hari
- Anak-anak usia 4–8 tahun: 7 mg/hari
- Anak-anak usia 9–13 tahun: 11 mg/hari
- Remaja dan orang dewasa: 15 mg/hari
- Ibu hamil: 15 mg/hari
- Ibu menyusui: 19 mg/hari
Bagi bayi usia 0–6 bulan yang belum boleh mengonsumsi makanan padat, kebutuhan vitamin E bisa tercukupi dari ASI atau susu formula. Namun, setelah disapih, kebutuhan vitamin E bayi perlu dicukupi dari makanan. Makanan yang bisa menjadi sumber vitamin E antara lain:
- Kacang dan biji-bijian
- Sayuran hijau
- Minyak sayur
- Telur
- Kiwi
- Mangga
Selain dari makanan, asupan vitamin E juga bisa didapatkan dari suplemen. Suplemen vitamin E dapat diberikan kepada bayi prematur untuk mencegah defisiensi vitamin E, juga kepada anak-anak dan orang dewasa yang merasa asupan vitamin E dari makanannya tidak cukup.
Perlu diingat, konsumsi suplemen vitamin E sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter. Pasalnya, jika suplemen ini tidak dikonsumsi sesuai aturan dan dosis yang tepat, dapat timbul beragam efek samping. Salah satunya adalah peningkatan risiko terjadinya perdarahan.