Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan. Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan dan amandel.
Difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan berisiko mengancam jiwa. Jika tidak ditangani, bakteri penyebab difteri dapat mengeluarkan racun yang merusak jantung, ginjal, atau otak.
Difteri bisa dicegah melalui imunisasi. Di Indonesia, pemberian vaksin difteri dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus, atau disebut juga dengan imunisasi DPT.
Penyebab dan Faktor Risiko Difteri
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang. Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.
Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti gelas atau sendok.
Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap. Selain itu, difteri juga lebih berisiko terjadi pada orang yang:
- Tinggal di area padat penduduk atau buruk kebersihannya
- Bepergian ke wilayah yang sedang terjadi wabah difteri
- Memiliki daya tahan tubuh lemah, misalnya karena menderita AIDS
Gejala Difteri
Gejala difteri muncul 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Meskipun demikian, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala. Apabila muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita.
Selain lapisan abu-abu di tenggorokan, gejala lain yang dapat muncul meliputi:
- Sakit tenggorokan
- Suara serak
- Batuk
- Pilek
- Demam
- Menggigil
- Lemas
- Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
Kapan harus ke dokter
Lakukan pemeriksaan ke dokter jika mengalami gejala penyakit difteri di atas, terutama bila memiliki risiko untuk tertular.
Segera ke IGD rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis jika muncul gejala difteri yang lebih berat, seperti:
- Gangguan penglihatan
- Keringat dingin
- Sesak napas
- Jantung berdebar
- Kulit pucat atau membiru
Diagnosis Difteri
Dokter dapat menduga pasien terkena difteri jika terdapat lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandelnya. Namun, untuk memastikannya, dokter akan melakukan pemeriksaan usap atau swab tenggorok.
Pemeriksaan usap tenggorok dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari tenggorokan pasien, untuk kemudian diteliti di laboratorium.
Pengobatan Difteri
Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin. Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah mendapat pengobatan.
Beberapa jenis pengobatan yang dilakukan untuk menangani difteri adalah:
Suntik antiracun
Dokter akan memberikan suntik antiracun (antitoksin) difteri guna melawan racun yang dihasilkan oleh bakteri difteri. Sebelum suntik dilakukan, pasien akan menjalani tes alergi kulit untuk memastikan tidak ada alergi terhadap antitoksin.
Antibiotik
Dokter akan memberikan antibiotik, seperti penicillin G procaine, atau erythromycin, untuk membunuh bakteri difteri dan mengatasi infeksi. Perlu diingat, antibiotik harus dikonsumsi sampai habis sesuai resep dokter, guna memastikan tubuh sudah bebas dari penyakit difteri.
Dua hari setelah pemberian antibiotik, umumnya penderita sudah tidak lagi bisa menularkan penyakit difteri.
Penanganan difteri dilakukan di dalam ruang isolasi di rumah sakit, guna mencegah penularan penyakit ini ke orang lain. Jika diperlukan, dokter juga akan meresepkan antibiotik pada keluarga pasien.
Bagi pasien yang mengalami sesak napas akibat selaput di tenggorokan yang menghalangi aliran udara, dokter akan memasang alat bantu napas.
Komplikasi Difteri
Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak jaringan di hidung dan tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan. Racun tersebut juga bisa menyebar melalui aliran darah dan menyerang berbagai organ.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
- Radang otot jantung (miokarditis)
- Pneumonia atau infeksi paru-paru
- Gagal ginjal
- Kerusakan saraf
- Kelumpuhan
Pencegahan Difteri
Difteri dapat dicegah dengan melakukan beberapa upaya berikut:
- Imunisasi DPT
Pastikan anak menerima imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri yang dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi wajib di Indonesia yang diberikan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta usia 5 tahun. - Konsultasi dengan dokter
Konsultasikan dengan dokter jika anak belum mendapatkan vaksin DPT, terutama jika sudah berusia lebih dari 7 tahun. Dokter akan memberikan vaksin Tdap. - Antibiotik
Selain untuk mengatasi difteri, antibiotik juga dapat diberikan pada orang yang kontak dekat dengan penderita sebagai pencegahan.