Efek kekerasan pada anak sering kali diabaikan bahkan diremehkan. Padahal anak yang menjadi korban kekerasan berisiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan, baik fisik maupun mental, serta penurunan kualitas hidup yang dapat terus berlanjut hingga dewasa.
Kekerasan pada anak dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penelantaran atau pengabaian anak, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga eksploitasi dan penjualan anak. Kekerasan pada anak bisa terjadi di rumah, sekolah, maupun dalam komunitas masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Tahun 2021, tercatat ada 15.914 kasus kekerasan pada Anak di Indonesia.
Terdapat 1.944 kasus kekerasan pada anak usia 1–5 tahun dan 4.892 kekerasan pada anak usia 6–12 tahun. Sementara itu, 9.000 lebih kasus kekerasan terjadi pada anak usia 13–17 tahun.
Efek Kekerasan pada Anak
Ada beberapa efek negatif yang dapat dialami seorang anak saat ia menjadi korban kekerasan, di antaranya:
1. Sulit mengendalikan emosi
Anak yang menjadi korban kekerasan akan kesulitan mengelola emosinya dengan baik. Oleh sebab itu, emosi yang dirasakan sering kali muncul secara berlebihan, misalnya anak menjadi lebih mudah merasa marah, sedih, atau sering merasa ketakutan.
Ketidakmampuan anak untuk mengendalikan emosi ini bisa saja menetap hingga ia dewasa dan mempengaruhi perilaku serta aktivitas hariannya, seperti menjadi sulit memaafkan kesalahan orang lain dan tidak mampu bekerja secara efektif.
2. Mengalami penurunan fungsi otak
Anak yang menjadi korban kekerasan juga dapat mengalami penurunan fungsi otak. Hal ini menyebabkan ia sulit memusatkan perhatian dan mempelajari hal-hal baru. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan prestasi akademik anak tersebut menurun.
Tak hanya itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pengalaman traumatis, termasuk kekerasan pada anak, dapat meningkatkan risiko terjadinya demensia saat lanjut usia.
3. Sulit membangun hubungan dengan orang lain
Pengalaman seorang anak sebagai korban kekerasan dapat membuat ia tumbuh menjadi orang yang mudah merasa curiga dan sulit percaya pada orang lain. Akibatnya, ia sulit mempertahankan hubungan dengan orang di sekitarnya dan rentan mengalami kesepian.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa korban kekerasan anak memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kegagalan dalam membina hubungan asmara dan pernikahan saat sudah dewasa.
Bahkan, mereka juga mungkin mengalami fobia terhadap jenis kelamin tertentu, misalnya terhadap laki-laki (androphobia) bila ayahnya yang melakukan kekerasan.
4. Berisiko lebih tinggi untuk mengalami masalah kesehatan
Trauma akibat tindak kekerasan pada anak dapat meningkatkan risiko terjadinya berbagai macam masalah kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental, seperti asma, diabetes, penyakit jantung koroner, stroke, serangan panik, dan depresi.
Korban kekerasan pada anak juga memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengonsumsi alkohol secara berlebihan dan menggunakan narkoba sebagai coping mechanism atau cara mengatasi trauma yang ia rasakan.
Bahkan, keinginan untuk bunuh diri juga dapat muncul bila trauma karena tindak kekerasan pada anak tidak kunjung teratasi. Selain itu, pria yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga di masa kecilnya juga lebih berisiko mengalami depresi setelah menjadi ayah nantinya.
5. Menjadi pelaku kekerasan pada anak
Orang tua yang pernah menjadi korban kekerasan selama masa kecilnya dapat melakukan hal yang sama pada anaknya. Siklus ini dapat terus berlanjut bila korban kekerasan anak tidak mendapatkan penanganan yang tepat untuk mengatasi trauma yang dialami.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tindak kekerasan pada anak dapat menimbulkan efek, bahkan masalah yang berkelanjutan. Korban tetap membutuhkan bantuan dan penanganan yang tepat, meski pengalaman traumatis karena tindak kekerasan anak telah lama berlalu.
Oleh karena itu, jika Anda pernah menjadi korban kekerasan anak atau menyadari bahwa kondisi yang sama pernah terjadi pada orang terdekat Anda, janganlah ragu untuk mencari bantuan psikolog atau psikiater.