Japanese encephalitis adalah radang otak yang disebabkan oleh Japanese encephalitis virus. Penyakit ini menyebar ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi virus tersebut. Meski umumnya bergejala ringan, sebagian kasus Japanese encephalitis dapat menyebabkan radang otak yang berakibat fatal.
Penularan Japanese encephalitis virus terjadi ketika nyamuk menggigit hewan yang terinfeksi virus ini, umumnya babi dan burung air. Nyamuk tersebut kemudian dapat menyebarkan virus ke manusia melalui gigitannya. Meski demikian, virus ini tidak dapat menular antarmanusia.
Japanese encephalitis umumnya ditemukan di Asia Tenggara, seperti Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Selain negara-negara tersebut, penyakit ini juga dapat ditemukan di Cina, Korea, Sri Lanka, dan India.
Meski jarang terjadi, Japanese encephalitis dapat mengakibatkan kondisi yang fatal. Angka kematian penyakit ini mencapai 20–30% dari keseluruhan kasus, dan sebanyak 30–50% kasus mengakibatkan gangguan saraf permanen. Kasus yang parah biasanya terjadi pada anak-anak, terutama yang berusia kurang dari 10 tahun.
Penyebab Japanese Encephalitis
Japanese encephalitis disebabkan oleh Japanese encephalitis virus. Virus ini merupakan kelompok flavivirus yang masih terkait erat dengan virus demam berdarah, demam kuning (yellow fever), dan west nile fever.
Japanese encephalitis virus menyebar ke manusia dari hewan yang terinfeksi, biasanya babi atau burung air, melalui gigitan nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Nyamuk ini lebih aktif pada malam hari dan banyak ditemukan di daerah persawahan.
Umumnya, kasus Japanese encephalitis akan meningkat ketika musim hujan, karena jumlah populasi nyamuk akan bertambah. Selain itu, pada sebagian besar kasus, penyakit ini terjadi di daerah peternakan babi.
Gejala Japanese Encephalitis
Japanese encephalitis umumnya tidak menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan gejala ringan, seperti demam, sakit kepala, serta mual dan muntah. Beberapa gejala tersebut biasanya timbul 4–15 hari setelah penderita tergigit nyamuk yang terinfeksi.
Meski demikian, pada sekitar 1 dari tiap 250 kasus, Japanese encephalitis dapat menimbulkan gejala yang berat. Beberapa gejala berat yang bisa muncul adalah:
- Demam tinggi
- Napas cepat
- Leher terasa kaku
- Muntah-muntah parah
- Kaku otot
- Gangguan penglihatan akibat pembengkakan saraf mata (papiledema)
- Linglung
- Sulit berbicara
- Tremor
- Kejang, terutama pada anak-anak
- Kelumpuhan
- Koma
Gejala Japanese encephalitis berat lebih berisiko terjadi pada anak berusia 2−10 tahun dan lansia.
Kapan harus ke dokter
Lakukan pemeriksaan ke dokter jika Anda merasa tidak enak badan dan demam, terutama jika Anda baru bepergian ke daerah yang terdapat kasus Japanese encephalitis. Perlu diingat bahwa gejala ringan Japanese encephalitis mirip dengan banyak gejala penyakit lain.
Segera ke IGD jika Anda atau anak Anda mengalami gejala-gejala sebagai berikut:
- Demam tinggi disertai dengan penurunan kesadaran yang cepat
- Sakit kepala yang hebat
- Leher kaku
- Muntah yang menyembur
- Kesulitan bicara
- Kelemahan otot
Diagnosis Japanese Encephalitis
Dokter akan mengawali diagnosis Japanese encephalitis dengan melakukan tanya jawab mengenai gejala yang dialami pasien, riwayat kesehatan pasien, dan riwayat perjalanan pasien. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa fungsi saraf pada pasien.
Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan, seperti:
- Tes darah, untuk mendeteksi adanya Japanese encephalitis virus dalam darah, serta mendeteksi antibodi terhadap virus tersebut
- Tes lumbal pungsi, yang juga untuk mendeteksi antibodi terhadap Japanese encephalitis virus
- MRI atau CT scan otak, untuk menilai kerusakan dan pembengkakan otak yang sering terjadi pada penyakit ini
Pengobatan Japanese Encephalitis
Belum ada obat antivirus yang secara khusus dapat mengobati Japanese encephalitis. Penanganan yang dilakukan dokter bertujuan untuk menstabilkan kondisi pasien, menurunkan tekanan di dalam otak, dan mengobati komplikasi yang mungkin terjadi.
Penanganan tersebut meliputi:
- Merawat pasien di ruang ICU
- Memberikan cairan melalui infus
- Memberikan oksigen, yang bisa dilakukan melalui intubasi
- Memberikan obat antikejang dan penurun demam
- Memberikan manitol melalui infus untuk mengurangi tekanan dalam otak
Komplikasi Japanese Encephalitis
Japanese encephalitis yang berat dapat menimbulkan beberapa komplikasi yang serius, seperti:
- Sindrom Guillain-Barré
- Penumpukkan cairan di dalam otak (hidrosefalus)
- Koma
- Kematian pada 20–30% kasus
Sekitar 30–50% pasien yang sembuh dari Japanese encephalitis berat dapat terkena gangguan saraf dan lumpuh permanen, gangguan bicara, gangguan memori, serta gangguan mental.
Pasien Japanese encephalitis juga biasanya membutuhkan tirah baring dan rawat inap yang lama di rumah sakit. Akibatnya, pasien juga rentan mengalami komplikasi berupa pneumonia dan luka di kulit akibat tirah baring lama (ulkus dekubitus).
Pencegahan Japanese Encephalitis
Upaya utama untuk mencegah terkena Japanese encephalitis adalah menjalani vaksinasi. Vaksinasi Japanese encephalitis di Indonesia telah masuk ke dalam imunisasi dasar pada anak usia 9 bulan dengan dosis tunggal. Untuk perlindungan jangka panjang, vaksinasi booster dapat diberikan 1–2 tahun berikutnya.
Selain vaksinasi, risiko terjadinya Japanese encephalitis juga dapat diturunkan dengan melindungi diri dari gigitan nyamuk. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
- Menggunakan losion anti nyamuk sesuai dengan petunjuk yang tertera ketika beraktivitas di luar ruangan
- Mengenakan baju lengan panjang jika beraktivitas di luar ruangan yang terdapat banyak tanaman, seperti semak-semak atau rawa-rawa
- Menggunakan kelambu ketika tidur, terutama jika ruangannya tidak memiliki AC
- Membersihkan tempat yang dapat menjadi tempat genangan air, seperti ember, pot bunga, dan tempat sampah, secara rutin, serta membersihkan lingkungan sekitar rumah
- Tidak menumpuk barang-barang bekas