Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, dan saluran pernapasan. Kusta atau lepra dikenal juga dengan nama penyakit Hansen atau Morbus Hansen.
Kusta atau lepra dapat ditandai dengan lemah atau mati rasa di tungkai dan kaki, kemudian diikuti dengan timbulnya lesi di kulit. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri ini dapat menyebar melalui percikan ludah atau dahak yang keluar saat penderitanya batuk atau bersin.
Angka kejadian kusta di Indonesia termasuk yang tertinggi. Berdasarkan data WHO tahun 2020, jumlah kasus kusta di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar di dunia, yaitu sebanyak 8%. Selain itu, terdapat sebanyak 9,14% dari total kasus baru kusta terjadi pada anak-anak.
Kusta umumnya dapat ditangani dan jarang menyebabkan kematian. Namun, penyakit ini berisiko menyebabkan cacat. Akibatnya, penderita kusta berisiko mengalami diskriminasi yang dapat berdampak pada kondisi psikologisnya.
Penyebab Kusta
Kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini dapat menular dari satu orang ke orang lainnya melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet), yaitu ludah atau dahak, yang keluar saat batuk atau bersin.
Seseorang dapat tertular kusta jika terkena percikan droplet dari penderitanya secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, bakteri penyebab lepra tidak dapat menular kepada orang lain dengan mudah. Selain itu, bakteri ini juga membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.
Perlu dicatat, kusta bisa menular jika terjadi kontak dalam waktu yang lama. Kusta tidak akan menular hanya karena bersalaman, duduk bersama, atau berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak menular dari ibu ke janinnya.
Selain penyebab di atas, ada beberapa faktor lain yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena kusta, di antaranya:
- Bersentuhan dengan hewan penyebar bakteri kusta, seperti armadillo
- Menetap atau berkunjung ke kawasan endemik kusta
- Memiliki gangguan sistem kekebalan tubuh
Gejala Kusta
Gejala kusta pada awalnya tidak tampak jelas dan biasanya berkembang secara perlahan. Bahkan, pada beberapa kasus, gejala kusta baru bisa terlihat setelah bakteri kusta berkembang biak dalam tubuh penderita selama 20 tahun atau lebih.
Beberapa gejala kusta yang dapat dirasakan penderitanya adalah:
- Kulit menjadi mati rasa, termasuk kehilangan kemampuan merasakan suhu, sentuhan, tekanan, atau nyeri
- Kulit tidak berkeringat (anhidrosis)
- Kulit terasa kaku dan kering
- Luka yang tidak terasa nyeri di telapak kaki
- Bengkak atau benjolan di wajah dan telinga
- Bercak yang tampak pucat dan berwarna lebih terang daripada kulit di sekitarnya
- Saraf membesar, biasanya di siku dan lutut
- Otot melemah, terutama pada otot kaki dan tangan
- Alis dan bulu mata hilang permanen
- Mata menjadi kering dan jarang mengedip
- Mimisan, hidung tersumbat, atau kehilangan tulang hidung
Pada kusta yang menyerang sistem saraf, penderita bisa kehilangan sensasi rasa termasuk nyeri. Akibatnya, luka atau cedera di tangan atau kaki dapat tidak terasa oleh penderita.
Berdasarkan tingkat keparahan gejalanya, kusta dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu:
-
Intermediate leprosy
Kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar berwarna pucat atau lebih cerah dari warna kulit sekitarnya, yang terkadang dapat sembuh dengan sendirinya -
Tuberculoid leprosy
Kusta ini ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang berukuran besar, mati rasa, dan disertai dengan pembesaran saraf -
Borderline tuberculoid leprosy
Kusta jenis ini ditandai dengan munculnya lesi yang berukuran lebih kecil dan lebih banyak dari tuberculoid leprosy -
Mid-borderline leprosy
Lepra jenis ini ditandai dengan lesi kemerahan yang tersebar secara acak dan asimetris, mati rasa, dan pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar kusta -
Borderline lepromatous leprosy
Kusta ini ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak dengan bentuk datar atau benjolan. Kusta jenis ini juga terkadang menimbulkan mati rasa. -
Lepromatous leprosy
Lepra ini ditandai dengan lesi yang tersebar dengan simetris. Umumnya, lesi yang timbul mengandung banyak bakteri dan disertai dengan rambut rontok, gangguan saraf, serta kelemahan anggota gerak.
Kapan harus ke dokter
Segera periksakan diri ke dokter jika mengalami gejala-gejala kusta seperti yang sudah dijelaskan di atas. Konsultasikan pula dengan dokter jika memiliki faktor yang meningkatkan risiko terkena kusta. Makin cepat kusta ditangani, maka makin tinggi pula peluang kesembuhannya.
Diagnosis Kusta
Untuk mendiagnosis kusta atau lepra, dokter akan menanyakan gejala yang dialami, kemudian memeriksa kulit pasien. Dokter akan memeriksa apakah ada lesi di kulit sebagai gejala kusta atau tidak. Lesi kusta pada kulit biasanya berwarna pucat atau merah (hipopigmentasi) dan disertai mati rasa.
Untuk memastikan apakah pasien menderita lepra, dokter akan mengambil sampel kulit dengan cara dikerok (skin smear). Sampel kulit ini kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk mengecek keberadaan bakteri Mycobacterium leprae. Metode analisisnya termasuk pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA).
Di daerah endemik lepra, seseorang dapat didiagnosis menderita lepra meskipun pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil negatif. Hal ini mengacu pada klasifikasi badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) terhadap penyakit kusta, yaitu:
- Paucibacillary, yaitu terdapat lesi kulit meski hasil tes kerokan kulit (smear) negatif
- Multibacillary, yaitu terdapat lesi kulit dengan hasil tes kerokan kulit (smear) positif
Jika lepra yang diderita sudah cukup parah, dokter akan melakukan tes pendukung untuk memeriksa apakah bakteri Mycobacterium leprae sudah menyebar ke organ lain atau belum. Contoh pemeriksaannya adalah:
- Hitung darah lengkap
- Tes fungsi liver atau hati
- Tes kreatinin
- Biopsi saraf
Pengobatan Kusta
Metode utama untuk mengobati kusta atau lepra adalah dengan obat antibiotik. Penderita kusta akan diberi kombinasi beberapa jenis antibiotik selama 1–2 tahun. Jenis, dosis, dan durasi penggunaan antibiotik akan ditentukan berdasarkan jenis kusta yang diderita.
Contoh antibiotik yang digunakan untuk pengobatan kusta adalah:
- Rifampicin
- Dapsone
- Clofazimine
- Minocycline
- Ofloxacin
Di Indonesia, pengobatan kusta umumnya dilakukan dengan metode MDT atau multidrug therapy, yakni pengobatan yang mengombinasikan dua antibiotik atau lebih.
Setelah pengobatan dengan antibiotik, operasi umumnya akan dilakukan sebagai penanganan lanjutan. Operasi bagi penderita kusta bertujuan untuk:
- Menormalkan fungsi saraf yang rusak
- Memperbaiki bentuk tubuh yang cacat
- Mengembalikan fungsi anggota tubuh
Komplikasi Kusta
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi jika kusta terlambat diobati adalah:
- Mati rasa
- Glaukoma
- Kebutaan
- Gagal ginjal
- Kerusakan bentuk wajah
- Kerusakan permanen pada bagian dalam hidung
- Kemandulan pada pria
- Lemah otot
- Kerusakan saraf permanen di luar otak dan saraf tulang belakang, termasuk pada lengan, tungkai kaki, dan telapak kaki
- Cacat permanen, seperti alis hilang, cacat pada jari kaki, tangan, dan hidung
Selain itu, diskriminasi yang dialami penderita dapat mengakibatkan tekanan psikologis atau bahkan depresi. Hal tersebut berisiko memunculkan keinginan penderitanya untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Pencegahan Kusta
Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah kusta. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat merupakan upaya terbaik untuk mencegah komplikasi dan penularan kusta. Selain itu, menghindari kontak dengan hewan pembawa bakteri kusta juga penting untuk mencegah kusta.
Gerakan terpadu untuk memberikan informasi mengenai penyakit kusta kepada masyarakat, terutama di daerah endemik, merupakan langkah penting agar para penderita mau memeriksakan diri dan mendapatkan pengobatan.
Pemberian informasi ini juga diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif tentang kusta dan diskriminasi terhadap penderita kusta.