Ada berbagai alasan seorang wanita melakukan tindakan aborsi. Namun, perlu diketahui bahwa aborsi memiliki risiko dari sisi medis maupun hukum, terutama jika dilakukan secara ilegal. Risikonya pun akan semakin meningkat bila aborsi dilakukan bukan oleh dokter.

Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan untuk mengakhiri kehamilan. Ada berbagai penyebab seorang wanita melakukan tindakan aborsi, antara lain hamil di luar nikah, ketidakmampuan ekonomi, kurangnya dukungan keluarga, hingga masalah dengan pasangan. Di sisi lain, aborsi juga dapat dilakukan jika kehamilan mengancam nyawa ibu atau janin.

Risiko Aborsi dan Konsekuensi Hukumnya - Alodokter

Berbagai Metode Aborsi

Ada dua metode yang digunakan dalam tindakan aborsi, yaitu penggunaan obat-obatan dan tindakan medis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua metode tersebut:

Metode aborsi menggunakan obat

Aborsi dengan metode ini dilakukan dengan pemberian obat minum atau suntik yang dapat menghalangi hormon progesteron, sehingga lapisan rahim menipis. Hal ini menyebabkan janin tidak dapat melekat dan tumbuh di dinding rahim.

Efek obat yang digunakan untuk aborsi juga akan menyebabkan rahim berkontraksi, sehingga embrio atau jaringan janin akan dikeluarkan melalui vagina.

Metode aborsi dengan tindakan medis

Tindakan medis untuk melakukan aborsi yang paling umum digunakan adalah aspirasi vakum. Tindakan ini biasanya dilakukan bila kehamilan baru memasuki trimester pertama.

Ada dua alat yang umumnya digunakan untuk mengeluarkan embrio dari rahim melalui tindakan ini, yaitu manual vacuum aspiration (MVA) dan electric vacuum aspirastion (EVA).

MVA dilakukan menggunakan tabung pengisap secara manual, sedangkan EVA menggunakan pompa listrik.

Untuk aborsi di usia kehamilan lebih dari 4 bulan, tindakan medis yang digunakan adalah dilation and evacuation (D&E). Metode ini menggunakan peralatan operasi untuk membuka leher rahim dan menyedot janin agar bisa dikeluarkan dari rahim.

Berbagai Risiko Aborsi

Sama seperti setiap tindakan medis lain, aborsi juga memiliki risiko, apalagi jika dilakukan di tempat dengan fasilitas terbatas, bukan oleh tenaga medis, tidak ada kondisi medis yang mendasari, serta dilakukan dengan metode yang tidak aman.

Risiko aborsi meliputi:

  • Perdarahan berat
  • Cedera pada rahim atau infeksi akibat aborsi yang tidak tuntas
  • Kemandulan
  • Kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya
  • Kondisi serviks yang tidak optimal akibat aborsi berkali-kali

Semua metode aborsi memiliki risiko atau komplikasi. Usia kehamilan turut berperan dalam menentukan tingkat risiko. Semakin tua usia kehamilan, semakin tinggi pula risiko dari tindakan aborsi yang dilakukan.

Kategori Aborsi yang Berbahaya

Berikut adalah kategori aborsi yang tidak aman menurut organisasi kesehatan dunia (WHO):

  • Dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian medis dalam bidang aborsi secara memadai.
  • Dilakukan di tempat dengan fasilitas yang tidak cukup memenuhi persyaratan kebersihan.
  • Dilakukan menggunakan peralatan yang tidak sesuai.

Selain itu, aborsi berbahaya juga dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan atau menggunakan alat bantu tertentu tanpa pengawasan dokter.

Tindakan Aborsi untuk Kepentingan Medis

Di Indonesia, pengaturan tentang aborsi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam undang-undang tersebut, semua orang pada umumnya dilarang melakukan tindakan aborsi.

Namun, berdasarkan pasal 75 UU Kesehatan, aborsi boleh dilakukan dengan alasan medis berikut ini:

  • Adanya indikasi darurat secara medis pada kehamilan usia dini yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin
  • Janin menderita kelainan genetik berat atau cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan, sehingga sulit bagi janin untuk bertahan hidup di luar kandungan
  • Kehamilan terjadi akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma

Aborsi yang dilakukan di luar kondisi di atas dinyatakan ilegal. Dalam pasal 194 UU Kesehatan, setiap orang yang terlibat tindakan aborsi ilegal dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal sebesar Rp 1 miliar.

Aborsi yang Diperbolehkan secara Hukum

Aborsi akibat pemerkosaan secara khusus diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau PP Kespro sebagai aturan pelaksana UU Kesehatan.

Dalam pasal 31 peraturan tersebut dinyatakan bahwa tindakan aborsi hanya dapat dilakukan pada usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) berdasarkan surat keterangan dokter.

Selain itu, dalam pasal 34 (2b) juga disebutkan mengenai syarat menjalani aborsi, yaitu adanya keterangan dari penyidik, psikolog, atau ahli lain yang membenarkan dugaan telah terjadi pemerkosaan.

Oleh karena itu, korban perlu sesegera mungkin melaporkan kejadian pemerkosaan ke kantor polisi terdekat. Polisi akan membawa korban ke Polres yang memiliki unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Dari unit PPA, korban kemudian akan diantar ke rumah sakit rujukan kepolisian untuk menjalani proses visum.

Jika korban membutuhkan konseling psikologis, unit PPA akan membuat rujukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk pendampingan lebih lanjut.

Korban pemerkosaan atau tindak kekerasan juga bisa menghubungi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk mendapatkan pertolongan dan dukungan.

Pertimbangkan berbagai aspek sebelum Anda melakukan atau terlibat dalam tindakan aborsi. Jangan sampai hal tersebut justru membahayakan nyawa Anda sendiri.

Anda pun bisa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter atau konselor yang berwenang untuk mengetahui lebih jauh mengenai aborsi yang aman dan legal, baik secara medis maupun hukum.