Sangat penting bagi para orang tua untuk mengetahui berbagai mitos seputar pelecehan seksual pada anak. Pasalnya, mitos-mitos pelecehan seksual tersebut akan membantu Bunda dan Ayah untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual pada Si Kecil.
Pelecehan seksual pada anak meliputi semua bentuk sikap dan tindakan yang melibatkan aktivitas seksual pada anak-anak, yang bisa dilakukan oleh orang dewasa, remaja, anak-anak yang lebih tua, atau teman sebaya korban.
Beberapa contoh sikap atau tindakan yang bisa mengarah ke pelecehan seksual adalah menyentuh area tubuh, seperti dada, paha, atau area organ intim anak, memaksa anak melihat gambar atau konten pornografi, memaksa anak melakukan masturbasi, atau memaksa anak untuk berhubungan seksual.
Mitos Seputar Pelecehan Seksual pada Anak dan Faktanya
Di bawah ini adalah beragam mitos tentang pelecehan seksual pada anak, berserta fakta yang ada di baliknya:
Mitos 1: Pelecehan seksual pada anak umumnya dilakukan oleh orang asing
Pada umumnya, orang tua akan mengingatkan anaknya untuk lebih waspada terhadap orang asing. Padahal faktanya, pelecehan seksual pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja lho, termasuk anggota keluarga terdekat, kerabat, atau teman sepermainan anak.
Mitos 2: Pelecehan seksual pada anak terjadi secara spontan
Ini juga salah satu mitos mengenai pelecehan seksual pada anak yang kerap dipercaya banyak orang. Padahal, jika dilihat faktanya, hanya sebagian kecil kasus pelecehan seksual pada anak yang terjadi secara spontan.
Sebaliknya, pelecehan seksual pada anak sering terjadi dengan terencana setelah beberapa hari, bulan, bahkan tahun pelaku mengenal korban. Hal ini sejalan dengan fakta yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni pelaku pelecehan seksual bisa dilakukan oleh orang yang dekat dengan anak.
Mitos 3: Semua pelecehan seksual pada anak dilakukan oleh pria dewasa
Saat mengajarkan pencegahan pelecehan seksual pada anak, banyak juga orang tua yang menggambarkan pria dewasa sebagai pelaku pelecehan seksual. Meski memang ada pelecehan seksual pada anak yang dilakukan oleh pria dewasa, tetapi bukan berarti semua pelakunya pasti pria dewasa, ya.
Faktanya, kasus pelecehan seksual pada anak juga banyak dilakukan oleh wanita dewasa, remaja, bahkan anak-anak di bawah umur, seperti teman-teman sebaya Si Kecil.
Stigma bahwa pelaku pelecehan seksual pada anak pasti dilakukan oleh pria dewasa dapat berakibat fatal. Pasalnya, hal ini bisa menyebabkan kasus pelecehan seksual yang tidak dilakukan oleh pria dewasa menjadi terabaikan dan tidak terlaporkan.
Mitos 4: Pelaku pelecehan seksual pada anak memiliki karakteristik khusus
Anggapan bahwa pelaku pelecehan seksual pada anak memiliki beberapa karakteristik yang bisa dikenali juga termasuk ke dalam salah satu mitos yang harus ditepis jauh-jauh. Pasalnya, tak jarang hal ini membuat orang tua menjadi lengah.
Perlu Ayah dan Bunda ingat, pelecehan seksual pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk tokoh-tokoh yang dihormati, tanpa adanya karakteristik tertentu.
Cara Melindungi Anak dari Pelecehan Seksual
Selain memahami mitos yang kerap beredar di masyarakat tentang pelecehan seksual pada anak, ada juga nih beberapa hal yang bisa Ayah dan Bunda lakukan untuk melindungi Si Kecil dari pelecehan seksual, yakni:
- Ajarkan anak bahwa bagian pribadi tubuhnya, seperti dada, paha, alat kelamin, dan bokong, tidak boleh disentuh oleh siapa pun, apalagi tanpa persetujuannya.
- Ajarkan anak untuk menolak, mengelak, atau lari, jika ada orang yang menyentuh bagian pribadi tubuhnya.
- Jelaskan pada anak bahwa jika ada orang yang mencoba menyentuh bagian pribadinya, itu merupakan hal yang salah, dan anak harus melaporkannya kepada Ayah dan Bunda.
- Bangun komunikasi yang baik dengan anak, misalnya dengan selalu mendengarkan ceritanya dan menghargai pendapatnya. Ini berguna untuk membangun kepercayaan anak, sehingga ia bisa terbuka mengenai semua hal kepada Ayah dan Bunda.
Nah, itulah beberapa hal seputar pelecehan seksual terhadap anak yang perlu diketahui oleh para orang tua. Walaupun tidak terjadi pada semua orang, terkadang korban pelecehan seksual bisa mengalami tonic immobility, sehingga sering dianggap tidak melawan saat kejadian berlangsung. Jadi, pahamilah kondisi anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
Dengan memahaminya, diharapkan tingkat kewaspadaan Ayah dan Bunda terhadap pelecehan seksual pada anak juga bisa meningkat, sehingga Si Kecil bisa terhindar dari hal-hal demikian.
Apabila masih memiliki pertanyaan terkait kasus pelecehan seksual pada anak, Ayah dan Bunda juga bisa berkonsultasi dengan psikolog.