Rumah sakit jiwa sering kali menjadi tempat rehabilitasi terpadu bagi orang-orang yang memiliki gangguan jiwa dengan kondisi berat dan sering kambuh. Namun, ada beberapa prosedur yang perlu dilalui sebelum pasien diputuskan membutuhkan rehabilitasi di tempat ini.
Pelayanan kesehatan untuk penderita penyakit jiwa umumnya bisa didapatkan di rumah sakit jiwa. Dalam jangka panjang, hal ini bertujuan melatih dan mendorong pasien dan keluarganya untuk menciptakan lingkungan yang suportif dan tidak terpaku stigma, agar pasien dapat kembali hidup bermasyarakat.
Ada beberapa alasan utama pasien dengan gangguan kejiwaan membutuhkan penanganan khusus di rumah sakit jiwa, yaitu:
- Memastikan bahwa kondisi pasien dapat dievaluasi lebih ketat.
- Mendapatkan supervisi agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain.
- Memberikan perawatan yang lebih menyeluruh seperti pemenuhan kebutuhan gizi dan sosial.
- Memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi.
Prosedur sebelum Dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa
Jangan pernah memvonis seseorang menderita penyakit kejiwaan sebelum orang tersebut menjalani pemeriksaan medis kejiwaan dari ahlinya. Untuk menyatakan gangguan mental pada seseorang, dia harus harus melewati beberapa tahap berikut:
1. Wawancara psikiatri dengan dokter ahli
Selama melakukan proses wawancara, dokter akan mengamati pasien dari berbagai sisi. Dokter akan menggali lebih lanjut apa keluhan utama pasien, serta memperhatikan status mental pasien yang dipantau dari sikap, suasana hati, dan perilaku pasien selama wawancara.
Pengamatan oleh dokter ini akan dilakukan serinci mungkin untuk menghindari adanya kesalahan diagnosis. Jika pasien pernah mengalami gejala terkait, menceritakannya kepada dokter akan menambah akurasi perkiraan tentang kondisi pasien tersebut.
Saat mewawancarai dan berinteraksi dengan pasien, dokter juga mengkaji kemampuan pasien dalam berpikir, mengemukakan alasan, dan mengingat (fungsi kognitif pasien) melalui beberapa pertanyaan.
Pertanyaan yang diajukan kemungkinan juga berkaitan dengan perasaan pasien tentang kehidupan pribadinya dan apakah dia berniat untuk melakukan bunuh diri. Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat obat-obatan, atau riwayat penyalahgunaan zat juga akan ditanyakan dokter.
2. Pemeriksaan fisik
Untuk memberikan diagnosis mengenai kondisi kesehatan mental seseorang, pemeriksaan fisik oleh dokter juga perlu dilakukan untuk menentukan kondisi umum pasien dan menentukan kemungkinan diagnosis.
3. Tes penunjang
Agar penilaian yang dilakukan dokter makin akurat, terkadang diperlukan tes tambahan seperti tes laboratorium. Tes ini biasanya membutuhkan sampel darah atau urine pasien.
Jika terdapat kecurigaan adanya gangguan pada sistem saraf, maka dokter akan menyarankan pasien untuk menjalani tes MRI, EEG, atau CT scan. Tes lainnya yang mungkin diperlukan untuk mendeteksi masalah pada tubuh adalah:
- Tes fungsi tiroid
- Kadar elektrolit tubuh
- Skrining toksikologi
Pengujian toksikologi dilakukan untuk mendeteksi apakah pasien memiliki riwayat penyalahgunaan obat-obatan atau konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan.
Pasien juga mungkin diminta untuk mengisi daftar pertanyaan secara tertulis (psikotes) untuk mengevaluasi kemampuan berpikir, logika, dan mengingat, serta kebiasaan sehari-hari.
Kriteria Pasien yang Harus Dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa
Rumah sakit jiwa masih memiliki stigma negatif dalam pandangan masyarakat. Meski sebenarnya, tidak serta merta yang mengalami kelainan jiwa harus masuk ke tempat rehabilitasi tersebut.
Ada beberapa kriteria pasien yang diharuskan menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, yaitu:
- Pasien menunjukkan gejala dan niat melakukan bunuh diri, termasuk kecenderungan untuk melukai diri sendiri atau orang lain.
- Pasien dengan gejala psikosis atau gangguan halusinasi.
- Pasien tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik secara mandiri.
- Pasien tidak aman jika dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
- Pasien terlantar yang tidak mendapat perawatan di luar rumah sakit. Pasien gangguan jiwa yang terlantar di masyarakat lazimnya dibantu oleh dinas sosial setempat.
Meski kriteria di atas menjadi semacam pertanda bahwa penderita gangguan mental sebaiknya dirawat di rumah sakit jiwa, namun kesediaan secara sukarela dari pasien bisa menjadi langkah awal yang lebih baik.
Di sisi lain, untuk pasien dengan tilikan yang rendah, maka keputusan untuk merawatnya di rumah sakit jiwa akan didasarkan pada kepentingan klinis dan persetujuan keluarga. Di sini, dokter berperan memberi advokasi dan saran terbaik terkait langkah penanganan pasien di rumah sakit jiwa.
Gangguan jiwa beragam jenisnya, mulai dari yang ringan sampai akut. Keterbukaan dari pihak keluarga akan membantu dokter ahli kejiwaan (psikiater) dalam melakukan diagnosis dan menentukan perawatan yang tepat bagi pasien.