Post power syndrome atau sindrom pascakekuasaan adalah kondisi ketika seseorang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang pernah dimilikinya dan belum bisa menerima hilangnya kekuasaan itu. Post power syndrome sering dialami oleh orang yang baru saja memasuki masa pensiun.
Tidak sedikit orang yang menjadikan pekerjaan sebagai bentuk aktualisasi diri dan tujuan hidupnya. Saat memasuki masa pensiun, orang-orang seperti ini tidak hanya kehilangan pekerjaan yang dicintai, tetapi juga segala bentuk penghargaan diri yang mereka dapatkan saat masih bekerja, seperti pujian, rasa hormat, dan rasa dibutuhkan oleh orang lain.
Perubahan besar ini bisa mengakibatkan timbulnya perasaan bahwa mereka sudah tidak lagi berguna, bahkan tidak memiliki tujuan hidup lagi. Kondisi inilah yang disebut dengan post power syndrome.
Bila salah satu keluarga atau teman Anda mengalami post power syndrome, bantuan dan dukungan Anda sangat ia butuhkan agar bisa melewati masa ini.
Pasalnya, bila dibiarkan berlarut-larut, post power syndrome bisa menyebabkan penderitanya mengalami berbagai gangguan kesehatan, baik secara fisik maupun mental.
Gejala Post Power Syndrome
Ada beberapa gejala yang bisa menjadi tanda bahwa seseorang sedang mengalami post power syndrome. Berikut adalah beberapa di antaranya:
- Kurang bergairah dalam menjalani kehidupan setelah pensiun
- Mudah tersinggung
- Menarik diri dari pergaulan
- Tidak mau kalah
- Tidak suka mendengar pendapat orang lain
- Suka mengkritik atau mencela pendapat orang lain
- Suka membicarakan mengenai kehebatan atau kekuasaannya di masa lalu
Cara Mendampingi Orang dengan Post Power Syndrome
Orang yang mengalami post power syndrome biasanya akan menunjukkan berbagai emosi yang negatif. Meski demikian, ingatlah untuk tidak menghindar atau menjauhinya. Bantu ia untuk beradaptasi dan menerima kondisinya melalui beberapa cara ini:
1. Berikan kesibukan baru
Salah satu alasan seseorang bisa mengalami post power syndrome adalah karena hilangnya rutinitas atau kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Oleh sebab itu, memberi penderita post power syndrome kesibukan baru bisa menjadi salah satu cara untuk mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang pekerjaannya di masa lalu.
Kegiatannya yang bisa Anda tawarkan bisa bermacam-macam, misalnya olahraga hingga sekadar menjemput cucu di sekolah setiap sore. Anda juga bisa bertanya kepadanya mengenai kesibukan apa yang ingin ia lakukan di masa pensiunnya.
2. Jaga komunikasi dengan baik
Seperti yang disebutkan sebelumnya, orang yang sedang mengalami post power syndrome tidak boleh ditinggalkan sendiri, karena hal ini bisa menyebabkan gejala post power syndrome-nya menjadi lebih parah. Maka dari itu, sebisa mungkin Anda harus terus menjaga komunikasi dengannya.
Bila tidak bisa bertemu secara langsung setiap hari, menjaga komunikasi juga bisa dilakukan melalui sambungan telepon atau video call. Dengan begitu, ia tidak akan merasa sendiri saat menghadapi masa post power syndrome-nya.
3. Minta bantuan orang ketiga
Bila Anda merasa kesulitan dalam menghadapi orang yang sedang mengalami post power syndrome, Anda bisa meminta bantuan orang lain untuk menolong Anda mendampinginya.
Melakukan cara-cara di atas diharapkan bisa membantu ia melewati masa post power syndrome-nya dengan lebih baik. Dengan begitu, ia bisa menjalani masa pensiunnya dengan sehat dan bahagia.
Selain itu, tetap pastikan penderita post power syndrome menjalani pola hidup yang sehat. Anda bisa mengajaknya untuk membiasakan diri makan makanan sehat, mengingatkannya untuk tidur cukup dan tidak begadang, dan mengajaknya berolahraga bersama. Hal ini akan memberikan pengaruh baik untuk kesehatan mentalnya.
Namun, bila cara-cara yang Anda lakukan tidak juga berhasil atau mungkin ia malah terlihat tambah murung dan mengutarakan perasaan bahwa dirinya tidak berguna atau tidak lagi punya tujuan atau aspirasi hidup, cobalah untuk berkonsultasi dengan psikolog.
Psikolog dapat membantu Anda mencari cara terbaik untuk mendampingi penderita post power syndrome yang mungkin sudah sampai mengalami depresi. Jika perlu, psikolog juga bisa merujuk ke psikiater agar kondisi ini bisa ditangani dengan obat.