Di Indonesia, kebiri kimia diberlakukan untuk para pelaku kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak. Lantas, apa sebenarnya kebiri kimiawi dan bagaimana proses serta dampaknya bagi kesehatan?
Pada tanggal 7 Desember 2020, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, secara resmi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual terhadap Anak.
Peraturan ini diterapkan untuk memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan dan kekerasan seksual pada anak. Bentuk hukuman ini dilakukan dengan pemberian hormon yang mampu menurunkan hasrat seksual pelaku kejahatan.
Setelah dikebiri, pelaku akan dipasang alat pendeteksi elektronik dan menjalani rehabilitasi.
Metode Kebiri Kimia
Berbeda dengan kastrasi atau kebiri fisik yang melibatkan prosedur operasi pada organ reproduksi pria, kebiri kimia tidak dilakukan dengan cara demikian.
Kebiri kimiawi dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan secara bertahap, biasanya dalam bentuk suntik, kepada pelaku kekerasan seksual anak dengan tujuan mengurangi hasrat seksualnya.
Obat-obatan tersebut bekerja dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron, yaitu hormon yang berperan dalam menghasilkan libido atau hasrat seksual.
Ada beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan untuk menekan produksi hormon testosteron dalam kebiri kimia, yaitu:
1. Agonis LHRH (Luteinizing hormone-releasing hormone)
Agonis LHRH digunakan untuk menurunkan testosteron yang diproduksi oleh testis. Seiring berjalannya waktu, obat ini akan membuat testis menyusut dan bahkan membuat ukurannya menjadi sangat kecil.
Saat agonis LHRH pertama kali diberikan, kadar testosteron akan naik untuk sementara sebelum akhirnya turun ke level yang sangat rendah.
Obat agonis LHRH digunakan dengan cara disuntik atau ditempatkan sebagai implan kecil di bawah kulit. Beberapa contoh obat golongan agonis LHRH adalah leuprolide, goserelin, dan triptorelin.
2. Antagonis LHRH
Obat ini bekerja secara langsung dengan menurunkan kadar hormon testosteron lebih cepat. Contoh obat jenis ini adalah degarelix yang biasanya diberikan sebulan sekali dengan cara disuntik atau relugolix yang berupa pil untuk diminum sehari sekali.
3. Medroxyprogesterone acetate (MPA)
Obat ini merupakan salah satu jenis kontrasepsi hormonal yang dapat digunakan oleh wanita. Jika diberikan kepada pria, MPA dapat merangsang testis untuk berhenti menghasilkan testosteron sehingga jumlah hormon ini akan berkurang. Hal tersebut akan membuat libido pada pria menurun drastis.
Dampak Kebiri Kimia bagi Kesehatan Pria
Menurunnya kadar testosteron dalam tubuh pria yang menjalani kebiri kimiawi, tentu tak lepas dari dampaknya bagi kesehatan. Berikut ini adalah beberapa dampak dari kebiri kimia bagi kesehatan:
Dampak fisik
Hormon testosteron merupakan hormon seks utama pada pria. Hormon ini berperan penting dalam meningkatkan massa otot hingga pertumbuhan rambut tubuh, khususnya pada masa pubertas.
Ketika jumlah hormon testosteronnya berkurang, seorang pria bisa mengalami beberapa efek fisik berikut ini:
- Peningkatan jaringan lemak dan kolesterol
- Penurunan massa otot
- Tulang menjadi rapuh atau keropos
- Kebotakan atau berkurangnya rambut di tubuh
- Bengkak atau nyeri di jaringan payudara
- Disfungsi ereksi
Selain itu, rendahnya hormon testosteron karena kebiri kimiawi ini akan diiringi penurunan energi yang dapat menyebabkan tubuh mudah lelah, serta perubahan pola tidur dan gangguan tidur, seperti insomnia.
Dampak psikologis
Tak hanya dampak fisik, kebiri kimia juga dapat memengaruhi pria secara psikologis. Beberapa riset menunjukkan bahwa pria dengan jumlah hormon testosteron yang rendah lebih berisiko mengalami depresi dan gangguan cemas, berkurangnya memori, dan sulit berkonsentrasi.
Kebiri kimia dilakukan untuk mencegah tindakan berulang dari pelaku kejahatan seksual karena dapat menurunkan gairah seksualnya. Meski demikian, psikoterapi dan pengawasan lebih lanjut tetap perlu dilakukan setelah pelaku selesai menjalani kebiri kimiawi.
Sementara itu, peran lingkungan sekitar juga sangat diperlukan. Orang tua dan anggota keluarga perlu memberikan pemahaman seputar pendidikan seks pada anak untuk meminimalkan risiko terjadinya tindak pelecehan dan kekerasan seksual di kemudian hari.