Setiap orang tua tentu ingin anaknya berprestasi dan membanggakan. Namun, untuk mencapai hal tersebut, orang tua kadang tanpa sadar menerapkan pola asuh yang kurang tepat. Salah satunya adalah pola asuh tiger parenting.
Pola asuh tiger parenting awalnya diperkenalkan oleh profesor hukum bernama Amy Chua dalam bukunya yang berjudul “Battle Hymn of the Tiger Mom”. Di dalam bukunya, ia merepresentasikan pola asuh ketat yang ia terapkan pada anak perempuannya.
Setelah buku Amy Chua rilis, American Psychological Association menggunakan istilah tiger parenting untuk menggambarkan pola asuh yang ketat dan otoriter dalam pengasuhan anak.
Memahami Pola Asuh Tiger Parenting Lebih Dalam
Seperti yang disebutkan di atas, tiger parenting adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pola asuh yang bersifat otoriter, penuh kontrol, dan ketat. Penerapan pola asuh tiger parenting dipercaya dapat melatih anak untuk disiplin, rajin, dan fokus sejak dini.
Pola asuh tiger parenting biasanya diterapkan oleh orang tua yang berambisi bahwa anaknya harus tumbuh menjadi seseorang yang berprestasi dan sukses, terutama dalam hal akademik.
Umumnya, orang tua yang menerapkan pola asuh tiger parenting memiliki beberapa karakteristik, seperti:
- Menuntut anak untuk selalu mendapatkan nilai yang tinggi dalam semua pelajaran di sekolah.
- Mengikutsertakan anak dalam berbagai les atau kursus.
- Merasa bangga apabila anak berhasil mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah. Sebaliknya, merasa kecewa dan marah jika anak mendapat nilai yang kurang baik.
- Tidak segan untuk memberi hukuman apabila anak tidak mencapai standar yang diinginkan dan ditetapkan orang tua.
- Tidak mengizinkan anak untuk banyak bergaul atau bermain dengan teman-temannya.
- Cenderung tidak peduli dengan keinginan atau minat anak.
- Lebih peduli dengan pencapaian anak, daripada usaha dan caranya dalam mendapatkan pencapaian tersebut.
Penting untuk diingat, penerapan pola asuh tiger parenting sebenarnya memang memiliki maksud yang positif, yaitu untuk membimbing dan membantu anak meraih kesuksesannya di masa depan.
Kendati begitu, menurut penelitian, penerapan pola asuh yang terlalu ketat dan otoriter pada anak, seperti tiger parenting, justru bisa membawa dampak negatif bagi perkembangan emosional dan bahkan kesehatan mental anak.
Dampak Penerapan Pola Asuh Tiger Parenting
Umumnya, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh tiger parenting cenderung akan mengaitkan harga dirinya dengan tingkat kesuksesannya, terutama dalam bidang akademis.
Padahal, sebuah studi menjelaskan, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh tiger parenting tidak dijamin memiliki kesempatan yang lebih besar dalam mencapai kesuksesan akademis dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh lainnya.
Bahkan, anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh tiger parenting justru selalu diliputi rasa takut akan berbuat salah dan takut mengecewakan orang tuanya. Selain itu, mereka juga cenderung memiliki kesulitan untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Jika terjadi dalam jangka waktu yang lama, hal-hal tersebut bisa meningkatkan risiko anak mengalami stres berkepanjangan, gangguan kecemasan, bahkan hingga depresi.
Mengingat dampak negatif yang bisa timbul akibat penerapan pola asuh tiger parenting, sebaiknya hindari menerapkan pola asuh yang terlalu keras (strict parenting) seperti ini kepada Si Kecil ya, Ayah, Bunda.
Sebagai gantinya, Ayah dan Bunda bisa coba menerapkan pola asuh yang lebih efektif, yaitu authoritative parenting. Pola asuh ini memungkinkan orang tua untuk mengasuh, mendukung, memberi kasih sayang, dan responsif terhadap anak, tetapi tetap diiringi dengan batas-batas yang tegas.
Dengan seimbangnya kebebasan dan batasan yang Ayah dan Bunda berikan, anak diharapkan dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, disiplin, percaya diri, dan bertanggung jawab.
Mendidik dan membesarkan anak memang bukan hal yang mudah. Jadi, apabila Ayah dan Bunda merasa kesulitan untuk menentukan pola asuh yang tepat untuk diterapkan pada anak, cobalah untuk berdiskusi dengan orang tua lain. Jika perlu, Ayah dan Bunda juga bisa berkonsultasi dengan psikolog terkait hal tersebut.