Sindrom Rotor adalah penyakit keturunan yang ditandai dengan meningkatnya kadar bilirubin dalam tubuh. Bilirubin merupakan pigmen berwarna kekuningan yang muncul ketika sel darah merah hancur.
Seseorang yang menderita sindrom Rotor mengalami penyakit kuning, yang ditandai dengan kulit atau bagian putih dari mata (sklera) yang berubah menguning. Penderita juga dapat merasakan gejala lain, seperti pusing dan nyeri dada.
Penyebab Sindrom Rotor
Sindrom Rotor disebabkan oleh mutasi atau perubahan pada gen SLCO1B1 dan SLCO1B3. Kedua gen tersebut berfungsi untuk memproduksi protein yang membawa bilirubin ke hati. Bilirubin yang telah sampai di hati kemudian akan diangkut ke saluran pencernaan dan ginjal untuk dikeluarkan dari tubuh.
Perubahan pada kedua gen tersebut membuat pengangkutan bilirubin ke hati menjadi terganggu sehingga bilirubin menumpuk di dalam tubuh.
Sindrom Rotor adalah penyakit yang diturunkan. Seseorang bisa terserang kondisi ini jika mendapatkan gen bermutasi dari kedua orang tuanya. Sedangkan orang yang hanya memperoleh satu gen bermutasi tidak akan mengalami gejala sindrom Rotor. Meski begitu, ia tetap bisa menjadi pembawa (carrier) yang dapat menurunkan gen tersebut kepada anaknya.
Gejala Sindrom Rotor
Gejala utama sindrom Rotor berupa kuning pada kulit dan bagian putih mata (sklera), yang dapat hilang-timbul. Selain mengalami penyakit kuning, penderita sindrom Rotor juga dapat mengalami gejala lain akibat tingginya kadar bilirubin dalam tubuh. Gejala tersebut antara lain:
- Nyeri atau bengkak di perut
- Lemas dan cepat lelah
- Mual dan muntah
- Urine lebih gelap
- Pusing
- Demam
- Nyeri dada
Kapan harus ke dokter
Segera lakukan pemeriksaan ke dokter jika bayi mengalami penyakit kuning dengan kondisi berikut:
- Muncul segera setelah bayi lahir
- Terjadi pada usia lebih dari 2 minggu
- Disertai kelelahan, tidak mau menyusu, rewel, sesak napas, dan demam
Jika bayi dibolehkan pulang di hari kelahirannya, bawa bayi ke rumah sakit 2 hari kemudian untuk menjalani pemeriksaan kadar bilirubin.
Diagnosis Sindrom Rotor
Diagnosis sindrom Rotor diawali dengan menanyakan gejala dan riwayat kesehatan pasien, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik untuk memastikan gejala yang dialami. Setelah itu, dokter akan melakukan pemeriksaan lanjutan guna memastikan diagnosis, antara lain:
- Tes kadar bilirubin dalam darah, untuk menghitung kadar tiap jenis bilirubin dalam darah
- Tes kadar bilirubin dalam urine, untuk menghitung kadar tiap jenis bilirubin dalam urine
- Tes hitung porfirin urine, untuk mengukur kadar zat yang menghasilkan hemoglobin (porfirin) dalam urine
- Tes fungsi hati, untuk mendeteksi kerusakan pada hati
- Tes hemolisis, untuk mendeteksi kerusakan pada sel darah merah
- Hepatobiliary iminodiacetic acid (HIDA) scan, untuk melihat kondisi hati, kandung empedu, dan saluran empedu, melalui foto Rontgen atau USG dengan bantuan suntikan zat radioaktif
- Tes genetik, untuk mendeteksi mutasi atau perubahan pada protein, gen, atau kromosom
Pengobatan Sindrom Rotor
Sindrom Rotor merupakan kondisi yang ringan sehingga penanganannya cukup dengan meredakan gejala yang muncul. Misalnya, penderita sindrom Rotor yang mengalami demam akan diberikan obat penurun demam.
Perlu diingat, penggunaan obat harus disertai konsultasi ke dokter agar jenis obatnya sesuai dengan kondisi pasien. Hal ini karena dosis dan jenis obat yang tidak sesuai berisiko memperburuk kondisi dan menyebabkan efek samping penggunaan obat.
Komplikasi Sindrom Rotor
Sindrom Rotor biasanya tidak menimbulkan komplikasi. Namun, penderita sindrom Rotor harus berhati-hati dalam mengonsumsi obat, terlebih yang dijual bebas. Hal ini karena penggunaan obat yang tidak sesuai aturan pakai berisiko meningkatkan efek samping yang parah.
Pencegahan Sindrom Rotor
Sama seperti penyakit genetik lain, sindrom Rotor tidak dapat dicegah. Namun, penderita sindrom Rotor yang merencanakan kehamilan dapat menjalani skrining genetik. Melalui skrining genetik, seberapa besar risiko sindrom Rotor menurun kepada anak dapat diketahui.